Wush, Ada Santet Di Senayan Selasa, 19 Maret 2013 , 19:41:28 WIB - Hukum

http://www.gresnews.com/berita/hukum/1941193-wush-ada-santet-di-senayan/


GRESNEWS.COM - Santet - banyak orang menyebutnya ilmu hitam - masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada yang setuju, banyak juga yang keras menentang.
Yup, jangan salah paham dulu. Bukannya tukang santet kini banyak berkeliaran di Senayan. Tapi ada pasal tentang santet yang cukup kontroversial dan memancing perdebatan, kini tengah dibahas di ruang sidang Komisi III DPR, di Senayan.
Buktikan Dua Dunia
Berikut bunyi Pasal 293 Rancangan KUHP yang mengundang pro dan kontra tersebut:
Ayat (1): Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat (2): Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Pakar hukum Universitas Bhayangkara, Jakarta, Armansyah Nasution menilai, pasal-pasal itu bisa menyulitkan. "Untuk pembuktian secara materil penyidik dan atau pengadilan akan kesulitan, karena santet berada di alam berbeda dengan dunia nyata," jelasnya.
"Jadi ada dua dunia yang secara konkrit pembuktiannya sulit diwujudkan. Namun untuk mencari pembuktian secara formil dapat saja diperoleh anasir, petunjuk, dan atau alibi apabila ada korban yang mengadukan tindakan santet yang menimpa dirinya melalui perspektif delik pidana formil," sambung Arman.
Pasal ini bisa menjerat orang yang mengaku-ngaku, mempromosikan, mengiklankan dirinya, hingga "transaksi" antara dukun santet dengan pengguna jasa.
"Bahwa pasal santet masuk dalam Revisi KUHP, ini patut diapresiasi karena ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menjamin kepastian dan bentuk modifikasi pasal-pasal warisan kolonial. Apalagi santet adalah tindakan konvensional yang sejak dahulu sudah ada," ujar Arman.
Hanya saja, Arman mengingatkan, dalam penerapan atau penegakan hukumnya tidak boleh salah kaprah, yang bisa menjurus pada peradilan sesat.
Segelintir Orang
Sementara itu di tempat terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Suhartono Widjaya menegaskan, pasal santet sesungguhnya kemauan orang tertentu saja. "Saya tidak setuju dengan pasal 293, karena dibuat untuk kepentingan segelintir orang," tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nurdiman Munir. "Saya menolak keberadaan pasal santet, karena ujung-unjungnya dapat menimbulkan fitnah, dan orang dapat dikriminalisasi melalui pasal santet, karena susah dibuktikan," cetusnya.
Semoga pembahasan berjalan mulus, tanpa harus saling santet. (DED/GN-02)

Reporter : Dedy Kusnaedi
Redaktur : Muhammad Sulhi Rawie

Tanpa Disiplin Kuat, Pembahasan RUU KUHAP & KUHP Takkan Selesai Senin, 11 Maret 2013 , 23:17:00 WIB - Hukum


 http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=2317113-tanpa-disiplin-kuat-pembahasan-ruu-kuhap-takkan-selesai

GRESNEWS.COM - DPR optimistis pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selesai akhir 2013. Namun, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) justru pesimistis semua itu selesai bahkan pada periode DPR 2009-2014.

"Perlu kedisiplinan yang kuat agar pembahasannya runut dan konsisten. Selain itu, forum pembahasannya tidak bisa lagi sekadar mengandalkan metode Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)," kata peneliti PSHK Rachmad Maulana Firmansyah kepada Gresnews.com di Jakarta, Senin (11/3).

Firman mengatakan perlu ada terobosan dalam pembahasan RUU tersebut di DPR. Misalnya, kata dia, mempertimbangkan agar pembahasan antara satu kelompok materi atau isu bisa konsisten dengan kelompok materi atau isu lainnya. "Apalagi kita juga masih dihadapkan pada tingkat kehadiran yang minim pada rapat-rapat alat kelengkapan seperti Komisi," katanya.

Firman mengingatkan seandainya pembahasan RUU KUHAP dan KUHP tidak selesai oleh DPR periode 2009-2014 maka DPR periode 2014-2019 tidak memiliki kewajiban secara otomatis untuk meneruskan sisa pembahasannya. "DPR periode mendatang akan memulai dari awal. Itu pun dengan catatan RUU KUHAP dan KUHP masih ditempatkan dalam Prolegnas 2015-2019," ujarnya.

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin mengatakan DPR baru akan mulai melakukan pembahasan, dengan membentuk panja, membentuk tim perumus, tim sinkronisasi. "Yang akan kita paralelkan dengan beberapa undang-undang yang kita bahas. Mudah-mudahan tugas ini dapat kami selesaikan pada akhir tahun ini," kata Azis kepada Gresnews.com, Senin (11/3).

Pada 4 Februari 2013, Badan Musyawarah DPR menyepakati untuk menyerahkan pembahasan RUU KUHAP kepada Komisi III DPR. Keputusan Bamus tersebut menjawab pertanyaan sejumlah pihak tentang siapa yang diberi tugas menyelesaikan RUU KUHAP setelah drafnya diserahkan pemerintah kepada DPR pada 11 Desember lalu. Rapat Pleno Komisi III, 6 Maret lalu, berhasil menyelesaikan tahapan pertama pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP. Seluruh fraksi menyatakan persetujuan untuk menuntaskan pembahasan undang-undang yang menjadi sumber dari segala sumber dalam berpraktik hukum itu.

Wakil Ketua Badan Legislasi Dimyati Natakusumah mengatakan pembahasan di Komisi III itu diarahkan agar upaya mewujudkan criminal justice system itu dapat diwujudkan sebab kalau di pansus (panitia khusus) bisa berbeda nanti isinya.

Ia mengingatkan agar Komisi III dapat menghasilkan KUHAP yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contoh produk undang-undang sebelumnya ternyata dapat digunakan sejak zaman kolonial Belanda.

"Kita jangan kejar tayanglah, kita harus bisa menghasilkan KUHAP yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Perlu pula dijaga produk legislasi ini jangan sampai bertentangan dengan konstitusi kita," kata Dimyati.

Disharmoni
Sementara itu sejumlah kalangan melontarkan harapan dan kritik terhadap landasan dan materi RUU KUHAP. Firman mengatakan beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembahasan RUU KUHAP adalah potensi disharmonisasi dalam penerapan sistem peradilan pidana terpadu. "Belum nampaknya penegasan dalam hal harmonisasi hukum acara pidana di Indonesia dan belum jelasnya pemetaan terkait masa transisi pasca-disahkannya RUU KUHAP kelak," tegasnya.

Pengamat hukum dari Universitas Bhayangkara Jakarta, Armansyah Nasution, menyoroti pentingnya keadilan restoratif (restorative justice) dalam RUU KUHAP. Kendati sudah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, kata Armansyah, fenomena sistem peradilan pidana terpadu secara formil juga membutuhkan modifikasi dalam konteks penegakan hukum (law enforcement).

"Yang tidak kalah pentingnya adalah dalam RUU KUHAP terkait proses penyidikan perlu ditekankan bahwa seorang penyidik minimal bergelar akademis S-1 hukum atau psikologi untuk meningkatkan profesionalisme Polri," katanya.

Sementara itu anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan meskipun PDIP menyetujui beberapa poin dalam RUU KUHAP yang diajukan oleh pemerintah tetapi PDIP akan menyiapkan draf tandingan.

"Upaya ini merupakan jawaban dari kegelisahan para pencari keadilan dan sebagai langkah untuk mengurai karut-marutnya kondisi penegakan hukum di Indonesia," ujarnya.

Lebih lanjut Eva mengatakan RUU KUHAP yang akan mulai dibahas pada masa persidangan ini adalah draf produk hukum yang selama ini dinantikan, setelah proses yang tidak berkesudahan dan keinginan untuk menjadikan RUU KUHAP menjadi lebih sempurna.

"Mengingat pentingnya pembahasan kedua RUU ini bagi perkembangan hukum di Indonesia maka sesuai dengan tujuan hukum, pembahasan RUU KUHAP semata-mata hanya ditujukan untuk memberikan keadilan sebagai nilai dasar hukum, kepastian hukum sebagai nilai instrumental dan kemanfaatan sebagai nilai praksis," kata Eva.

Selain tujuan pembahasan, lanjut Eva, rumusan landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis yang akan ditetapkan dalam pembahasan RUU KUHAP juga harus mempertimbangan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.

"Sehingga pada nantinya RUU KUHAP yang telah disahkan menjadi UU tidak ditafsirkan secara kaku oleh aparatur penegak hukum dan berbanding lurus dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegasnya.

Sementara itu Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan pembaruan KUHP nasional semula semata-mata diarahkan pada misi tunggal yaitu dekolonialisasi KUHP dalam bentuk rekodifikasi dalam sejarah perjalanan bangsa, baik perkembangan nasional maupun internasional.

"Lebih jauh terkandung juga misi yang lebih luas yaitu misi demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana serta adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma-norma yang diakui internasional," kata Amir. (DED/DPR.GO.ID/GN-01)

Reporter : Dedy Kusnaedi

Terobosan Untuk Membuat Saksi Lebih Berani Bicara Jum'at, 05 April 2013 , 17:00:00 WIB - Politik




 http://www.gresnews.com/berita/politik/183054-terobosan-untuk-membuat-saksi-lebih-berani-bicara/

GRESNEWS.COM - Maraknya kasus-kasus sensitif setara penyerbuan Lapas Cebongan atau kerusuhan Pasca-Pilkada Palopo membuat peran saksi demikian penting. Karena kasus-kasus seperti itu bakal makin banyak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban harus diperkuat.
Pada kasus LP Cebongan misalnya, seperti ditegaskan Pengamat Hukum Armansyah Nasution, pascapengungkapan pelaku yang ternyata oknum Kopassus, saat ini tantangan berat justru menanti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi saksi-saksi terkait penyerbuan Lapas tersebut. "Keberanian para saksi untuk membantu membongkar aksi biadab ini akan sangat menentukan. Karena itu mereka harus benar-benar dilindungi oleh negara, termasuk jajaran keluarganya," ucap Armansyah.
Ketika hal itu ditanyakan ke LPSK, lembaga itu mengaku saat ini sedang fokus untuk memperkuat peran LPSK di tataran undang-undang. Agar nantinya secara teknis bisa bekerja lebih maksimal di lapangan. Salah satunya dengan memasukkan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini sedang dibahas oleh Komisi III DPR RI.
Babak baru buat LPSK
Jika masuk KUHAP, boleh dibilang sebagai terobosan buat LPSK. Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai sendiri bilang, lembaganya mengapresiasi setinggi-tingginya respons dan dukungan Fraksi PDI-P terhadap ide memasukkan LPSK ke dalam RKUHAP. "Fraksi PDIP mendukung adanya penguatan kelembagaan LPSK agar LPSK dapat bekerja secara maksimal mulai dari struktur organisasi, sumber daya manusia, dan anggaran," katanya pada (4/4).
Dalam pertemuan baru-baru ini, LPSK juga minta dukungan Fraksi PDI-P untuk merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. "Kami mengusulkan perlu adanya sinergitas yang saling menguatkan antara revisi KUHAP dan UU Nomor 13 tahun 2006, kejelasan peran dan fungsi lembaga yang berwenang untuk pemenuhan hak-hak saksi dan korban, serta pengakuan keberadaan LPSK yang selama ini berwenang dalam proses peradilan pidana, diperjelas dalam RKUHAP."
Sementara Achmad Basarah dari Fraksi PDI-P menyatakan, LPSK perlu terus berkoordinasi dengan fraksinya untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan fungsi LPSK di lapangan. "Koordinasi di lapangan sangat diperlukan, yakni jika LPSK menemui hambatan bisa disampaikan kepada kami agar kami bisa membantu memaksimalkan fungsi kerja LPSK," katanya.
Politisi PDI-P lain, Trimedya Panjaitan menyarankan agar LPSK melakukan audiensi juga dengan Badan Legislasi untuk melakukan revisi Undang-Undang No. 13 tahun 2006. "LPSK juga perlu melakukan koordinasi dengan badan legislasi, agar revisi terhadap UU No. 13 tahun 2006 segera dibahas dan fungsi LPSK menjadi lebih maksimal," ungkapnya.
LPSK berencana melakukan pendekatan terhadap 8 fraksi lainnya di DPR, untuk memuluskan babak baru dalam sejarah kelembagaan mereka. (LAN/GN-02)
Reporter : Alan Jhon
Redaktur : Muhammad Sulhi Rawie

LEGAL OPINION (PENDAPAT HUKUM) Law Office ARMAN NASUTION



Salah satu bentuk layanan advokasi non litigasi adalah pemberian Legal Opinion (Pendapat Hukum) untuk kepentingan klien.Demikian halnya Law Office Arman Nasution senantiasa memberikan suatu pandangan hukum tertulis atas permasalahan hukum klien agar diketahui duduk persoalan, kronologis secara komprehensif, dilakukan analisa yuridis secara mendalam hingga penyajian rekomendasi berupa strategi maupun upaya hukum apa yang akan dilakukan oleh klien untuk memenangkan perkara atau menghadapi perkara yang rumit sekalipun.
Legal Opinion pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari perbincangan tentang Penulisan Hukum. Legal opinion merupakan salah satu bentuk Penulisan hukum yang utamanya disajikan dalam rangka kepentingan praktis.Sebagai bagian dari Penulisan Hukum, karakteristik penulisan hukum itupun berlaku untuk penyusunan pendapat hukum. Sebenarnya pengertian Legal Opinion dalam bahasa latin disebut dengan Ius Opinio, dimana Ius artinya Hukum dan Opinio artinya pandangan atau pendapat. Legal opinion adalah istilah yang dikenal dalam sistem hukum Common Law (Anglo Saxon), sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dikenal dengan istilah Legal Critics.
Dalam Black’s Law Dictionary, Edisi VII dikemukakan bahwa :
 “ A written document in which an attorney provides his or her understanding of the law as applied to assumed facts. The attorney may be a private attorney or attorney representing the state or other governmental antity”. A party may entitled to rely on a legal opinion, depending on factors such as the identity of the parties to whom the opinion was addressed and the law governing these opinion” (Sekumpulan dokumen tertulis yang dijadikan padanan aplikasi bagi para pengacara atau pengertian  pendapat hukum yang berkaitan dengan berbagai masalah hukum dari para pihak terkait sesuai dengan fakta-faktanya. Seorang pengacara bisa saja secara pribadi mewakili berbagai aspek peraturan entita hukum yang mengatur tentang hal itu. Salah satu pihak berhak untuk meyakinkan pendapat hukum, tergantung dari faktor-faktor identitas para pihak terkait yang dibuat oleh seorang pengacara melalui pendapat hukum dan undang-undang yang mengaturnya).
Proteksi atas kepentingan hukum klien menjadi penting untuk dideskripsikan dalam suatu Pendapat Hukum ini. Sebagai pedoman bagi klien untuk menentukan arah ataupun proyeksi atas kasus hukum dapat menjadi starting point relasi profesional antara lawyer dengan kliennya, sebagaimana area layanan hukum oleh Law Office Arman Nasution, dibawah naungan Dr.Armansyah Nasution,SH.MH. didukung oleh Partners serta tenaga ahli yang bergabung dalam Arman Nasution Center.

Etika Bersosial Media

Maraknya “media baru” (new media) seperti internet, media sosial dan teknologi multimedia yang kian canggih, membawa budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan internet, batas ruang dan waktu telah hilang, namun memiliki efek yang dapat berdampak positif ataupun negatif dari penggunaannya.

Salah satu dampak dari penggunaan internet adalah apa yang dilakukan Florence Sihombing yang membuat jagad sosial media riuh karena statusnya di Path menghina Yogyakarta.

Florence menulis Yogyakarta sebagai kota miskin dan tidak berbudaya. Yogyakarta yang tadinya tenang, mendadak riuh dan sorotan pun terfokus kepada sosok Florence Sihombing, yang melalui sosial media Path memaki-maki kota Yogyakarta, hanya karena masalah sepele tidak mau antre di SPBU.

Kemudian berujung kemarahan dan mempostingnya sehingga tersebar di internet. Warga Yogyakarta pun meradang akibat ulah tersebut. Bahkan berlanjut di jejaring sosial, Florence pun mendapat kecaman dan kian menyebar menjadi konsumsi pemberitaan media.

Bila menilik pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur mengenai 'Penghinaan/Pencemaran nama baik, yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Dengan demikian, kebebasan bersosial media tidak steril dari ekses maupun reaksi akibat penyalahgunaan semisal dalam persoalan penghinaan atau pencemaran nama baik secara tertulis (libel) di dunia mayantara.

Ejekan yang dilakukan seorang mahasiswa UGM terhadap wilayah Yogyakarta tersebut membuat salah satu dosen UGM mengingatkan melalui akun Facebook nya, bahwa para mahasiswa harus menjaga ucapannya dan tidak merendahkan harkat dan martabat orang lain.

Oleh karena itu perlu etika dan kearifan dalam menggunakan sosial media sebagai bentuk ekspresi agar tidak merugikan pihak lain. Hal ini diatur dan mendapat ancaman sanksi pidana melekat terhadap perbuatan penghinaan semacam ini. Sebagaimana bunyi Pasal 45, ayat (1) UU ITE bahwa setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Semoga menjadi pelajaran dan hikmah untuk kita semua.

Seminar "Pengaturan Hukum Udara di Indonesia" (Implementasi UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan) Dr.Armansyah Nasution,SH.MH.

Diumumkan SEMINAR SEKOLAH TA. 2012/2013 akan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 11 April 2013 pukul 13.00 dengan Tema "Pengaturan Hukum Udara di Indonesia" (Implementasi UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan)
Pembicara Ibu Baiq Setiani, SH., MH., SE., MM.
Moderator Bapak Dr. Armansyah Nasution, SH., MH.
Tempat Theater Mini Gedung Graha Purnawira (belakang Kampus I Jakarta) Jl. Darmawangsa I No.1 Jakarta Selatan
Mahasiswa/i yang mengikuti seminar sekolah harus mengenakan pakaian Putih Hitam dan Jaket Almamater, Mahasiswa/i semester akhir 7/8 diwajibkan kehadirannya sebagai salah satu mata kuliah wajib. Terima Kasih.

KONSTITUSIONALITAS PEMILUKADA : PARADOKS KEDAULATAN RAKYAT



KONSTITUSIONALITAS PEMILUKADA :
PARADOKS KEDAULATAN RAKYAT
Oleh : Dr.Armansyah,SH.MH.*

       Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu tonggak demokrasi yang berfungsi sebagai instrument rekruitmen politik serta memfasilitasi proses sirkulasi elite politik. Tanpa proses rekruitmen dan sirkulasi yang berjalan secara periodik dan berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, maka demokrasi akan berakhir. Pemilu juga mempunyai fungsi kontrol terhadap kekuasaan yang cenderung absolut apabila tidak dikontrol. Tanpa Pemilu maka terbuka peluang terjadi diktum politik : power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
            Pemilu memfasilitasi proses seleksi dan kompetisi untuk jabatan-jabatan publik khususnya dalam tulisan ini adalah Kepala Daerah. Dewasa ini, Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan jalan demokrasi untuk menciptakan kepemimpinan yang demokratis di daerah. Sebagai pelaksanaan demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung, potensi terjadinya pelanggaran dalam Pemilukada juga cukup tinggi. Friksi yang terjadi antara peserta Pemilukada dan penyelenggara Pemilukada, antar peserta Pemilukada serta masyarakat luas selama penyelenggaraan Pemilukada memunculkan banyak persoalan politik dan hukum bahkan persoalan sosial.
            Kini Pemilukada menjadi isu besar setelah digulirkannya wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Reaksi keras bermunculan, kalangan pro dan kontra yang terbelah pandangannya terhadap RUU Pilkada ini akan berakhir nanti pada tanggal 25 September 2014 DPR dijadwalkan akan mengesahan RUU Pilkada. Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung oleh DPRD tidak akan mengganggu pemerintahan baru, tetapi akan mengganggu kedaulatan rakyat. Memilih kepala daerah secara langsung akan mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya, meskipun terkadang politik bahasa panggung akan berbeda dengan realitas sesungguhnya, tetapi mengendalikan mekanisme pemilukada di DPRD merupakan langkah mundur bangsa ini dalam berdemokrasi dan mengambil alih kedaulatan politik rakyat.
            Merespon polemik ini, secara konstitusional UUD NRI 1945 telah mengatur tentang asas Pemilu yang dituangkan dalam Pasal 22E ayat (1) yang kemudian diatur juga dalam Pasal 2 UU No. 12 tahun 2003 yaitu langsung, umum, bebas,rahasia, jujur dan adil. Langsung dan oleh rakyat, adalah prinsip dasar demokrasi.Sehingga dengan kata lain, apabila sudah ditegaskan dipilih langsung oleh rakyat, maka proses dan rezimnya masuk kategori Pemilihan Umum. Selanjutnya, Pemilihan Kepala Daerah, UUD NRI 1945 menyatakan dalam Pasal 18 bahwa : Gubernur, Bupati
________________________________________________________________________________
·         Dosen Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Pamulang, disajikan sebagai Rujukan Akademis pada Diskusi Ilmiah Terbatas “Konstitusionalitas Pemilukada dalam Desain Ketatanegaraan Indonesia : Langsung atau Tidak Langsung”, Universitas Pamulang, 20 September 2014.

dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Definisi demokratis berupa pemilihan langsung oleh rakyat ditegaskan dalam UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 24 ayat (5) :“Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”
Prinsip pemilihan kepala daerah secara langsung juga ditegaskan pada Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi : “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

            Berdasarkan uraian tersebut diatas, UUD NRI 1945 maupun UU No.32/2004 telah mengakui bahwa Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum. Untuk menjamin dan memastikan suatu pemilu yang demokratis, selain diterapkannya asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, juga diperlukan pemisahan yang tegas antara rezim pemilu dengan rezim pemerintahan. Pemisahan ini penting agar proses pemilu dan proses pemerintahan tidak saling mempengaruhi sehingga hasil pemilu maupun kebijakan pemerintahan tidak mencerminkan proses demokrasi yang murni sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana digariskan pada UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat 2.


Pemilukada diantara Transisi dan Konsolidasi Demokrasi
            Kita tidak dapat lagi menyandangkan harapan lebih ataupun keputusan berupa regulasi dan pengurusan dari pemerintah pusat, sehingga daerah hanya melaksanakan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah pusat (unity of command) sebagai konsekuensi sebuah negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Meskipun Pemilukada mengadung paradoks dari tujuan awal desentralisasi, akibatnya tercipta distorsi demokrasi dimana desentralisasi pengelolaan pemerintahan daerah berjalan diametral dengan peran partai politik di daerah. Pemilukada langsung pertama kali dilakukan pada 2005 pascapengesahan UU No.32 Tahun 2004, pada saat itulah terjadi pergeseran dari model yang bersifat elitis ke populis.
            Meskipun cita ideal negara kesatuan sebagai bentuk negara yang paling tepat untuk mewujudkan persatuan nasional, namun pasca amandemen Konstitusi, sepatutnya negara kesatuan dapat menjadi landasan batas dari isi pengertian otonomi. Berdasarkan landasan batas tersebut dikembangkanlah berbagai peraturan (rules)  yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan tuntutan kesatuan dan tuntutan otonomi. Dimungkinkan spanning yang timbul dari kondisi tarik menarik antara kedua kecenderuangan itu, sehingga perlu di manage karena keberlangsungannya merupakan suatu yang alamiah. Kehidupan bernegara dan pemerintahan tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Negara atau pemerintah yang baik adalah yang berkiprah sesuai dengan dinamika masyarakatnya.[1]
            Juan Linz dan Alfred Stepan mengatakan bahwa untuk mengukur suatu negara itu demokrasi atau demokrasi yang terkonsolidasi tidak cukup dengan memusatkan perhatian pada pemilu. Sayangnya, kata Linz dan Stepan, terlalu banyak memusatkan perhatian pada pemilu, padahal konsolidasi demokrasi menuntut lebih jauh dari sekedar pemilihan umum.[2] Demokrasi yang terkonsolidasi adalah dimana demokrasi berlaku sebagai aturan main, baik dalam segi perilaku, sikap, maupun dalam segi peraturan (konstitusi). Selanjutnya dikemukakan 5 (lima) syarat berkaitan dengan konsolidasi demokrasi, yaitu : (1) masyarakat sipil yang bebas dan aktif; (2) masyarakat politik yang bebas dan otonom; (3) tokoh politik utama yang tunduk dan patuh pada aturan hokum; (4) birokrasi yang mendukung pemerintahan demokratis baru; dan (5) masyarakat ekonomi yang dilembagakan, selain dari segi konstitusi, rezim demokratis terkonsolidasi apabila kekuatan pemerintah dan nonpemerintah tunduk pada undang-undang maupun prosedur yang ditetapkan melalui proses yang demokratis. 
            Bangsa Indonesia masih terjebak dalam kondisi transisi demokrasi, dimana sistem oligarkis di lingkaran partai politik maupun lembaga politik yang justru menghasilkan undang-undang yang lahir dari kompromi politik yang oportunis dan pragmatis, semisal soal RUU Pilkada dan wacana pemilu serentak (concurrent election) demi efisiensi dan efektifitas, dengan model 2 (dua) kali selama kurun waktu lima tahun yaitu, Pemilu Nasional (Pemilu Presiden, Pemilu anggota DPR dan Pemilu Anggota DPD) dan Pemilu Lokal (Pemilu Kepala Daerah dan Pemilu Anggota DPRD), dan (2) Pemilu Eksekutif (Presiden  & Kepala Daerah) dan Pemilu Legislatif (DPR, DPD dan DPRD).
            Apabila ditinjau dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, dapat ditafsirkan bahwa konstitusi negara adalah sarana manifestasi kedaulatan rakyat. Pelaksanaan kedaulatan rakyat inilah melalui Pemilu, sarana untuk menjalankan proses kedaulatan rakyat.  Kegiatan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia guna menghasilkan sistem pemerintahan negara yang demokratis, merespon aspirasi masyarakat luas, bukan transaksional untuk kepentingan elite Partai Politik. Hasil dari Pemilukada langsung, pemimpin daerah harus sejalan dengan pemikiran rakyat, bertransformasi dengan rakyat (grass root) dan menampilkan watak demokratik, karena inilah aspirasi para kepala daerah yang menginginkan hak politik warga negara tidak dipangkas dan tetap berkeinginan Pemilukada langsung dilaksanakan.
            Memang Pemilukada tidak terlepas dari kekurangan, sehingga diperlukan perbaikan dalam implementasi seperti menekan biaya politik tinggi yang dikeluarkan calon kepala daerah atau menggelar pilkada serentak. Perbaikan tersebut sudah diakomodasi dalam RUU Pilkada, diantaranya tidak ada lagi kampanye rapat umum,tetapi diganti dialog terbatas yang dananya dibiayai negara. Praktik politik uang yang marak bukan karena sistem pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan akibat perilaku politisi partai yang menyimpang dari budaya demokrasi.
            Sejatinya manusia pemerintah dalam interaksi dengan rakyat akan berada dalam peranannya sebagai pemerintahan dan oleh karena itu, ketika melakukan pemahaman terhadap manusia pemerintah pada hakikatnya memberikan pengertian pada manusia pemerintah dalam hubungan kekuasaan dan dalam hubungan pengaturan dengan/terhadap rakyat sebagai pihak yang diperintah di dalam peran atau posisi sosialnya yang berbeda-beda. Dengan demikian, tugas-tugas pemerintah dalam alam modern dewasa ini oleh Philipus M. Hadjon dkk akan tergantung pada antara lain kesukaran dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, tugas-tugas pemerintahan tergantung pada ketersediaan kebutuhan masyarakat.[3]
            Anasir bahwa Pilkada diserahkan kepada DPR juga cukup beralasan sebab pengawasan angggota DPRD jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengawasi seluruh rakyat Indonesia. Secara kuantitatif 40-50 anggota DPRD di 480 Kabupaten/Kota akan dapat di monitor apabila terjadi penyalahgunaan wewenang dalam proses Pilkada. Selain itu  fakta  bahwa 292 Kepala Daerah bermasalah secara hukum merupakan ekses dari Pilkada langsung, sehingga tidak tercapai demokrasi substansial yang tujuan akhirnya pemerintah yang mensejahterahkan masyarakat  melainkan demokrasi prosedural yang abai terhadap prinsip kedaulatan rakyat itu sendiri.
            Sedangkan argument Pemilihan Kepala daerah melalui DPRD melanggar konstitusi juga tidak dapat diabaikan begitu saja karena kedaulatan berada ditangan rakyat. Esensi Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, secara hukum makna demokratis berarti dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, Pemilukada tidak langsung melalui DPRD bukan tanpa masalah akan potensi politik transaksional. Hal ini harus diletakkan dalam konteks besarnya kekuasaan partai politik dalam menentukan kebijakan daerah dan dikhawatirkan akan semakin mengukuhkan fenomena legislative heavy. Revitalisasi memang menjadi kunci dari carut marut persoalan RUU Pilkada ini atau pilihan tegas untuk pengesahan RUU Pilkada ditunda dengan tetap dimasukkan dalam prioritas program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2014-2019. Penundaan itu diperlukan agar seluruh proposal perubahan terhadap isu-isu krusial dalam RUU Pilkada disertai dengan naskah akademik sehingga memiliki basis argumentasi memadai.
            Kita patut mengapresiasi tidak semua Pemimpin Daerah mengalami kasus hukum, seperti korupsi ataupun sebagai pemicu konflik. Lewat Pilkada langsung oleh rakyat telah menghasilkan sejumlah kepala daerah yang teruji, kompeten, dan visioner. Antara lain Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini. Bahwa selain itu dalih high-cost politics tidak dapat dijadikan justifikasi untuk mengembalikan mekanisme Pilkada melalui DPRD, karena Pilkada langsung adalah pengejawantahan kedaulatan rakyat yang merupakan ruh dan jiwa demokrasi,
            Pengembalian pilkada melalui DPRD merupakan bentuk pengingkaran elite politik terhadap kedaulatan rakyat dan kemunduran bagi kehidupan demokrasi. Apabila RUU Pilkada tetap dipaksakan untuk disahkan sebelum masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir, maka rawan untuk menghadapi judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga transisi dan konsolidasi demokrasi yang seharusnya berjalan dengan baik akan sia-sia belaka akibat ulah mayoritas elite politik oligarkis.


[1]  Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, Cet.I, Februari 2009, hlm,.43.
[2]  Juan Linz dan Alfred Stepan, 2001,“Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi”, dalam Ikrar Nusa Bhakti  & Riza Sihbudi  (ed.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Yogyakarta, Mizan, hlm.41.
[3]  Faried Ali & Nurlina Muhidin, 2012,  Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, PT Refika Aditama, Bandung, Cet.I, 2012, hlm.21-22.