KONSTITUSIONALITAS PEMILUKADA : PARADOKS KEDAULATAN RAKYAT



KONSTITUSIONALITAS PEMILUKADA :
PARADOKS KEDAULATAN RAKYAT
Oleh : Dr.Armansyah,SH.MH.*

       Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu tonggak demokrasi yang berfungsi sebagai instrument rekruitmen politik serta memfasilitasi proses sirkulasi elite politik. Tanpa proses rekruitmen dan sirkulasi yang berjalan secara periodik dan berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, maka demokrasi akan berakhir. Pemilu juga mempunyai fungsi kontrol terhadap kekuasaan yang cenderung absolut apabila tidak dikontrol. Tanpa Pemilu maka terbuka peluang terjadi diktum politik : power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
            Pemilu memfasilitasi proses seleksi dan kompetisi untuk jabatan-jabatan publik khususnya dalam tulisan ini adalah Kepala Daerah. Dewasa ini, Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan jalan demokrasi untuk menciptakan kepemimpinan yang demokratis di daerah. Sebagai pelaksanaan demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung, potensi terjadinya pelanggaran dalam Pemilukada juga cukup tinggi. Friksi yang terjadi antara peserta Pemilukada dan penyelenggara Pemilukada, antar peserta Pemilukada serta masyarakat luas selama penyelenggaraan Pemilukada memunculkan banyak persoalan politik dan hukum bahkan persoalan sosial.
            Kini Pemilukada menjadi isu besar setelah digulirkannya wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Reaksi keras bermunculan, kalangan pro dan kontra yang terbelah pandangannya terhadap RUU Pilkada ini akan berakhir nanti pada tanggal 25 September 2014 DPR dijadwalkan akan mengesahan RUU Pilkada. Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung oleh DPRD tidak akan mengganggu pemerintahan baru, tetapi akan mengganggu kedaulatan rakyat. Memilih kepala daerah secara langsung akan mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya, meskipun terkadang politik bahasa panggung akan berbeda dengan realitas sesungguhnya, tetapi mengendalikan mekanisme pemilukada di DPRD merupakan langkah mundur bangsa ini dalam berdemokrasi dan mengambil alih kedaulatan politik rakyat.
            Merespon polemik ini, secara konstitusional UUD NRI 1945 telah mengatur tentang asas Pemilu yang dituangkan dalam Pasal 22E ayat (1) yang kemudian diatur juga dalam Pasal 2 UU No. 12 tahun 2003 yaitu langsung, umum, bebas,rahasia, jujur dan adil. Langsung dan oleh rakyat, adalah prinsip dasar demokrasi.Sehingga dengan kata lain, apabila sudah ditegaskan dipilih langsung oleh rakyat, maka proses dan rezimnya masuk kategori Pemilihan Umum. Selanjutnya, Pemilihan Kepala Daerah, UUD NRI 1945 menyatakan dalam Pasal 18 bahwa : Gubernur, Bupati
________________________________________________________________________________
·         Dosen Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Pamulang, disajikan sebagai Rujukan Akademis pada Diskusi Ilmiah Terbatas “Konstitusionalitas Pemilukada dalam Desain Ketatanegaraan Indonesia : Langsung atau Tidak Langsung”, Universitas Pamulang, 20 September 2014.

dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Definisi demokratis berupa pemilihan langsung oleh rakyat ditegaskan dalam UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 24 ayat (5) :“Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”
Prinsip pemilihan kepala daerah secara langsung juga ditegaskan pada Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi : “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

            Berdasarkan uraian tersebut diatas, UUD NRI 1945 maupun UU No.32/2004 telah mengakui bahwa Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum. Untuk menjamin dan memastikan suatu pemilu yang demokratis, selain diterapkannya asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, juga diperlukan pemisahan yang tegas antara rezim pemilu dengan rezim pemerintahan. Pemisahan ini penting agar proses pemilu dan proses pemerintahan tidak saling mempengaruhi sehingga hasil pemilu maupun kebijakan pemerintahan tidak mencerminkan proses demokrasi yang murni sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana digariskan pada UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat 2.


Pemilukada diantara Transisi dan Konsolidasi Demokrasi
            Kita tidak dapat lagi menyandangkan harapan lebih ataupun keputusan berupa regulasi dan pengurusan dari pemerintah pusat, sehingga daerah hanya melaksanakan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah pusat (unity of command) sebagai konsekuensi sebuah negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Meskipun Pemilukada mengadung paradoks dari tujuan awal desentralisasi, akibatnya tercipta distorsi demokrasi dimana desentralisasi pengelolaan pemerintahan daerah berjalan diametral dengan peran partai politik di daerah. Pemilukada langsung pertama kali dilakukan pada 2005 pascapengesahan UU No.32 Tahun 2004, pada saat itulah terjadi pergeseran dari model yang bersifat elitis ke populis.
            Meskipun cita ideal negara kesatuan sebagai bentuk negara yang paling tepat untuk mewujudkan persatuan nasional, namun pasca amandemen Konstitusi, sepatutnya negara kesatuan dapat menjadi landasan batas dari isi pengertian otonomi. Berdasarkan landasan batas tersebut dikembangkanlah berbagai peraturan (rules)  yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan tuntutan kesatuan dan tuntutan otonomi. Dimungkinkan spanning yang timbul dari kondisi tarik menarik antara kedua kecenderuangan itu, sehingga perlu di manage karena keberlangsungannya merupakan suatu yang alamiah. Kehidupan bernegara dan pemerintahan tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Negara atau pemerintah yang baik adalah yang berkiprah sesuai dengan dinamika masyarakatnya.[1]
            Juan Linz dan Alfred Stepan mengatakan bahwa untuk mengukur suatu negara itu demokrasi atau demokrasi yang terkonsolidasi tidak cukup dengan memusatkan perhatian pada pemilu. Sayangnya, kata Linz dan Stepan, terlalu banyak memusatkan perhatian pada pemilu, padahal konsolidasi demokrasi menuntut lebih jauh dari sekedar pemilihan umum.[2] Demokrasi yang terkonsolidasi adalah dimana demokrasi berlaku sebagai aturan main, baik dalam segi perilaku, sikap, maupun dalam segi peraturan (konstitusi). Selanjutnya dikemukakan 5 (lima) syarat berkaitan dengan konsolidasi demokrasi, yaitu : (1) masyarakat sipil yang bebas dan aktif; (2) masyarakat politik yang bebas dan otonom; (3) tokoh politik utama yang tunduk dan patuh pada aturan hokum; (4) birokrasi yang mendukung pemerintahan demokratis baru; dan (5) masyarakat ekonomi yang dilembagakan, selain dari segi konstitusi, rezim demokratis terkonsolidasi apabila kekuatan pemerintah dan nonpemerintah tunduk pada undang-undang maupun prosedur yang ditetapkan melalui proses yang demokratis. 
            Bangsa Indonesia masih terjebak dalam kondisi transisi demokrasi, dimana sistem oligarkis di lingkaran partai politik maupun lembaga politik yang justru menghasilkan undang-undang yang lahir dari kompromi politik yang oportunis dan pragmatis, semisal soal RUU Pilkada dan wacana pemilu serentak (concurrent election) demi efisiensi dan efektifitas, dengan model 2 (dua) kali selama kurun waktu lima tahun yaitu, Pemilu Nasional (Pemilu Presiden, Pemilu anggota DPR dan Pemilu Anggota DPD) dan Pemilu Lokal (Pemilu Kepala Daerah dan Pemilu Anggota DPRD), dan (2) Pemilu Eksekutif (Presiden  & Kepala Daerah) dan Pemilu Legislatif (DPR, DPD dan DPRD).
            Apabila ditinjau dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, dapat ditafsirkan bahwa konstitusi negara adalah sarana manifestasi kedaulatan rakyat. Pelaksanaan kedaulatan rakyat inilah melalui Pemilu, sarana untuk menjalankan proses kedaulatan rakyat.  Kegiatan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia guna menghasilkan sistem pemerintahan negara yang demokratis, merespon aspirasi masyarakat luas, bukan transaksional untuk kepentingan elite Partai Politik. Hasil dari Pemilukada langsung, pemimpin daerah harus sejalan dengan pemikiran rakyat, bertransformasi dengan rakyat (grass root) dan menampilkan watak demokratik, karena inilah aspirasi para kepala daerah yang menginginkan hak politik warga negara tidak dipangkas dan tetap berkeinginan Pemilukada langsung dilaksanakan.
            Memang Pemilukada tidak terlepas dari kekurangan, sehingga diperlukan perbaikan dalam implementasi seperti menekan biaya politik tinggi yang dikeluarkan calon kepala daerah atau menggelar pilkada serentak. Perbaikan tersebut sudah diakomodasi dalam RUU Pilkada, diantaranya tidak ada lagi kampanye rapat umum,tetapi diganti dialog terbatas yang dananya dibiayai negara. Praktik politik uang yang marak bukan karena sistem pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan akibat perilaku politisi partai yang menyimpang dari budaya demokrasi.
            Sejatinya manusia pemerintah dalam interaksi dengan rakyat akan berada dalam peranannya sebagai pemerintahan dan oleh karena itu, ketika melakukan pemahaman terhadap manusia pemerintah pada hakikatnya memberikan pengertian pada manusia pemerintah dalam hubungan kekuasaan dan dalam hubungan pengaturan dengan/terhadap rakyat sebagai pihak yang diperintah di dalam peran atau posisi sosialnya yang berbeda-beda. Dengan demikian, tugas-tugas pemerintah dalam alam modern dewasa ini oleh Philipus M. Hadjon dkk akan tergantung pada antara lain kesukaran dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, tugas-tugas pemerintahan tergantung pada ketersediaan kebutuhan masyarakat.[3]
            Anasir bahwa Pilkada diserahkan kepada DPR juga cukup beralasan sebab pengawasan angggota DPRD jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengawasi seluruh rakyat Indonesia. Secara kuantitatif 40-50 anggota DPRD di 480 Kabupaten/Kota akan dapat di monitor apabila terjadi penyalahgunaan wewenang dalam proses Pilkada. Selain itu  fakta  bahwa 292 Kepala Daerah bermasalah secara hukum merupakan ekses dari Pilkada langsung, sehingga tidak tercapai demokrasi substansial yang tujuan akhirnya pemerintah yang mensejahterahkan masyarakat  melainkan demokrasi prosedural yang abai terhadap prinsip kedaulatan rakyat itu sendiri.
            Sedangkan argument Pemilihan Kepala daerah melalui DPRD melanggar konstitusi juga tidak dapat diabaikan begitu saja karena kedaulatan berada ditangan rakyat. Esensi Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, secara hukum makna demokratis berarti dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, Pemilukada tidak langsung melalui DPRD bukan tanpa masalah akan potensi politik transaksional. Hal ini harus diletakkan dalam konteks besarnya kekuasaan partai politik dalam menentukan kebijakan daerah dan dikhawatirkan akan semakin mengukuhkan fenomena legislative heavy. Revitalisasi memang menjadi kunci dari carut marut persoalan RUU Pilkada ini atau pilihan tegas untuk pengesahan RUU Pilkada ditunda dengan tetap dimasukkan dalam prioritas program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2014-2019. Penundaan itu diperlukan agar seluruh proposal perubahan terhadap isu-isu krusial dalam RUU Pilkada disertai dengan naskah akademik sehingga memiliki basis argumentasi memadai.
            Kita patut mengapresiasi tidak semua Pemimpin Daerah mengalami kasus hukum, seperti korupsi ataupun sebagai pemicu konflik. Lewat Pilkada langsung oleh rakyat telah menghasilkan sejumlah kepala daerah yang teruji, kompeten, dan visioner. Antara lain Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini. Bahwa selain itu dalih high-cost politics tidak dapat dijadikan justifikasi untuk mengembalikan mekanisme Pilkada melalui DPRD, karena Pilkada langsung adalah pengejawantahan kedaulatan rakyat yang merupakan ruh dan jiwa demokrasi,
            Pengembalian pilkada melalui DPRD merupakan bentuk pengingkaran elite politik terhadap kedaulatan rakyat dan kemunduran bagi kehidupan demokrasi. Apabila RUU Pilkada tetap dipaksakan untuk disahkan sebelum masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir, maka rawan untuk menghadapi judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga transisi dan konsolidasi demokrasi yang seharusnya berjalan dengan baik akan sia-sia belaka akibat ulah mayoritas elite politik oligarkis.


[1]  Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, Cet.I, Februari 2009, hlm,.43.
[2]  Juan Linz dan Alfred Stepan, 2001,“Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi”, dalam Ikrar Nusa Bhakti  & Riza Sihbudi  (ed.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Yogyakarta, Mizan, hlm.41.
[3]  Faried Ali & Nurlina Muhidin, 2012,  Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, PT Refika Aditama, Bandung, Cet.I, 2012, hlm.21-22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar